Bagaimanakah syarat dan ketentuan dalam badal umrah dan haji? Tulisan ini mudah-mudahan bisa membantu dan menjelaskannya.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
كِتَابُ اَلْحَجِّ
Kitab Haji
بَابُ فَضْلِهِ وَبَيَانِ مَنْ فُرِضَ عَلَيْهِ
Bab Keutamaan Haji dan Penjelasan Siapa yang Diwajibkan
Hadits #719
وَعَنْهُ: { أَنَّ اَلنَّبِيَّ ( سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ, قَالَ: ” مَنْ شُبْرُمَةُ? ” قَالَ: أَخٌ[ لِي ], أَوْ قَرِيبٌ لِي, قَالَ: ” حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ? ” قَالَ: لَا. قَالَ: “حُجَّ عَنْنَفْسِكَ, ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ” } رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ,وَالرَّاجِحُ عِنْدَ أَحْمَدَ وَقْفُهُ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seorang berkata, “LABBAIK ‘AN SYUBRUMAH (artinya: aku memenuhi panggilan-Mu untuk Syubrumah).” Beliau bertanya, “Siapa Syubrumah itu?” Ia menjawab, “Saudaraku atau kerabatku.” Lalu beliau bersabda, “Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban. Pendapat yang kuat menurut Ahmad dan hadits ini mawquf). [HR. Abu Daud, no. 1811; Ibnu Majah, no. 2903; Ibnu Hibban, 9:299; Al-Baihaqi, 4:336. Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Imam Ahmad, Imam Ath-Thahawi, dan Imam Ibnul Mundzir mengatakan bahwa hadits ini mawquf].
Faedah hadits
- Untuk menghajikan yang lain hendaklah berhaji untuk diri sendiri terlebih dahulu. Inilah pendapat ulama Syafiiyah dan Hambali. Hadits yang mendukung adalah hadits Ibnu ‘Abbas walaupun statusnya mawquf, tetapi lebih kuat.
- Hendaklah menyebut nama orang yang dibadalkan dalam haji ketika talbiyah. Hal ini juga berlaku untuk badal umrah.
- Menghajikan kerabat baik ia masih hidup tetapi tidak kuat menunaikan haji atau sudah meninggal dunia dibolehkan.
- Jika seseorang berihram dengan haji atau umrah untuk yang lainnya sebelum ia berhaji atau berumrah untuk dirinya sendiri, ihramnya tetap berlaku untuk dirinya, bukan untuk yang lainnya. Inilah maksud hadits yang dibahas.
- Seorang muslim tidak boleh berniat haji atau umrah sunnah, sedangkan yang wajib belum ia tunaikan. Jika ia berihram dengan niatan sunnah, padahal belum melakukan yang wajib, maka dianggap ihramnya adalah untuk yang wajib. Begitu pula ketika berihram untuk nadzar, sedangkan ihram untuk haji atau umrah yang wajib belum ditunaikan, maka dianggap ihramnya adalah untuk yang wajib. Hal ini adalah pengqiyasan dari berihram untuk orang lain, sedangkan ia belum berihram untuk dirinya sendiri yang wajib.
- Hendaklah seorang mufti meminta rincian saat ingin memberikan fatwa, seperti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya siapa itu Syubrumah.
- Badal haji hendaklah tidaklah bertujuan untuk mencari harta. Karena bertujuan untuk mencari harta untuk amalan saleh bukanlah sifat dari orang-orang saleh. Yang harus diniatkan adalah untuk menolong saudaranya agar hilang beban kewajibannya. Namun, jika ada harta yang diberi dari badal haji, ia berhak untuk mendapatkannya. Harta tersebut hendaklah dimanfaatkan untuk makan, minum, dan transportasi. Sisanya dibolehkan untuk dimanfaatkan.
Baca juga:
- Hukum Badal Haji, Menggantikan Orang yang Tidak Mampu
- 10 Ketentuan Membadalkan Haji
- Membadalkan Haji Orang yang Tidak Shalat
Referensi:
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:185-188.
- Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:581-582.
–
Diselesaikan di Bandara Soekarno Hatta Hotel Anara, 19 Dzulqa’dah 1444 H, 7 Juni 2023
Artikel Rumaysho.Com